Advertisement

Promo Desember

Kedu Raya Paling Cocok untuk Slow Living

Sirojul Khafid
Sabtu, 21 Desember 2024 - 09:17 WIB
Sunartono
Kedu Raya Paling Cocok untuk Slow Living Wisatawan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (10/2/2021). - Harian Jogja/Nina Atmasari

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kedu Raya menjadi wilayah aglomerasi yang paling cocok untuk gaya hidup slow living. Kedu Raya meliputi Kabupaten Purworejo, Temanggung, Wonosobo, Magelang, dan Kota Magelang.

Berdasarkan hasil analisis Kompas, kawasan selanjutnya yang cocok untuk slow living yaitu Tasikmalaya Raya, yang meliputi Kabupaten Tasikmalaya, Pangandaran, Ciamis dan Garut, serta Kota Banjar dan Tasikmalaya. Di posisi ketiga, wilayah yang cocok untuk gaya hidup serupa berada di Banyumas Raya, yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, dan Cilacap.

Advertisement

Selanjutnya, slow living juga cocok untuk kawasan Malang Raya, yang terdiri dari Kabupaten Malang, Lumajang dan Probolinggo serta Kota Malang, Probolinggo, dan Batu. Di posisi kelima, terdapat wilayah Kedungsepur yang terdiri dari Kabupaten Semarang, Demak, Grobogan, dan Kendal serta Kota Semarang dan Salatiga.

“Kota-kota tersebut menjadi kawasan terbaik untuk slow living, dinilai dari biaya hidup, keamanan, dan infrastruktur. Kota-kota ini menawarkan keseimbangan antara aksesibilitas dan ketenangan, cocok untuk gaya hidup santai atau masa pensiun,” tulis dalam laporan tersebut.

Namun berbeda dari sisi kepopuleritasannya, wilayah slow living yang banyak dibahas di media sosial sering menyebut Kota Solo. Wilayah populer lainnya yaitu Malang, Yogyakarta, dan Salatiga. “Faktor seperti biaya hidup rendah, iklim nyaman, dan suasana ramah menjadi daya tarik utama dari kota-kota tersebut,” tulisnya. “Kota-kota ini bukan hanya nyaman untuk hidup ala slow living, melainkan juga ideal untuk menghabiskan masa pensiun. Tentu saja cocok juga untuk liburan santai akhir tahun ini.”

Daftar kota-kota tersebut diperoleh dari hasil analisis 22 variabel, mulai dari biaya hidup, harga properti, transportasi umum, iklim, ruang terbuka hijau, risiko bencana alam, hingga rasio dokter di 30 kawasan metropolitan atau aglomerasi besar di Indonesia. Meski ada kota yang cocok dan populer untuk slow living, pada dasarnya gaya hidup tersebut juga bisa diterapkan di semua wilayah.

Salah satunya, Auliya, pria 23 tahun yang tinggal di Tangerang Selatan. Dia memilih menerapkan gaya hidup slow living di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi saat ini. Dengan segala rutinitasnya yang padat, Auliya sering meluangkan waktu lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan yang sederhana. Beberapa contoh kegiatan seperti menikmati waktu berkualitas sendiri, berolahraga, atau sekadar menikmati secangkir kopi dengan teman-temannya.

“Saya lebih banyak meluangkan waktu di luar. Biasanya sebelum atau setelah kerja main dulu di luar. Ini lebih untuk menghibur diri aja di tengah rutinitas pekerjaan,” katanya, belum lama ini.

Slow living adalah mindset menjalani hidup lebih bermakna dengan memprioritaskan hal yang paling berharga bagi diri kita. Hal ini berarti memprioritaskan waktu secara tepat untuk hal-hal paling berarti dalam hidup. Tujuan utamanya mencari keseimbangan dalam kehidupan kerja, sosial, dan pribadi.

Contoh lain dari slow living adalah hidup dalam kesederhanaan. Artinya tidak perlu mengejar atau memiliki sesuatu berlebihan yang sebenarnya tidak diinginkan. Contoh paling sederhana ketika seseorang memutuskan membeli sesuatu dengan kesadaran penuh (mindful). Dalam urusan kepemilikan barang misalnya, Auliya sendiri lebih memilih harga yang lebih terjangkau namun dengan kualitas yang tetap bagus. Karena bagi dia, yang dilihat adalah fungsi kegunaanya bukan seberapa mahal atau murah barang tersebut.

“Membeli barang secukupnya, sesuai dengan kebutuhan, menghindari membeli barang yang kurang berguna seperti aksesoris dan sebagiannya,” ujar Auliya.

Bukan Berarti Malas

Slow living bukan berarti malas. Namun ada prioritas dalam melakukan sesuatu yang lebih bermakna. Slow living berpotensi membuat orang untuk menjaga kesehatan mental dan keseimbangan hidup. Gaya hidup ini memungkinkan seseorang terbebas dari segala hiruk-pikuk kesibukan pekerjaan dan tuntutan kehidupan modern yang melakukan aktivitas serba cepat.

Biasanya orang berpikir menjalani Slow living dengan bepergian ke lokasi terpencil atau mengasingkan diri. Namun, pada dasarnya Slow living dapat dilakukan dengan mengurangi peran di dunia kerja, kemudian memperbanyak kegiatan produktif dan menyenangkan di sekitar lingkungan rumah.

Slow living merupakan gaya hidup yang melambatkan laju hidup demi menikmati setiap momen dan menjadikan setiap aktivitas lebih bermakna. Filosofi utama gerakan slow living yaitu gagasan kesederhanaan sukarela, saat seseorang memilih menghilangkan kelebihan dari hidup untuk lebih menikmati berbagai hal.

Mengutip dari psikologi.uma.ac.id, pola hidup ini sudah dimulai di Italia sejak 1980-an ketika kritikus gastronomi Carlo Petrini menciptakan gerakan slow food. Secara umum, slow food merupakan filosofi yang bertujuan untuk mengembalikan tradisi Mediterania dan makan sehat tradisional dalam menghadapi munculnya makanan tidak sehat di seluruh dunia.

Slow living dibuat untuk mengembalikan ritme yang lebih tenang agar dapat menjalani hidup lebih tenang dan sehat. Begitu juga supaya terhindar dari pola dan pakem yang selama ini telah membelenggu dan mengganggu kebebasan. Slow living bertujuan mengembalikan cara hidup masa lalu. Bukan menafikan kemajuan dan perkembangan, melainkan memunculkan kebiasaan hidup yang sesuai dengan kebutuhan manusia yang sebenarnya. Tepatnya memelihara kesehatan manusia sepenuhnya, termasuk menghormati lingkungan.

Dalam gerakan slow living, aktivitas diselesaikan dengan tenang dan tidak tergesa gesa. Seperti dijelaskan dari slowlivingldn.com, slow living ditandai dengan pola pikir bermakna dan sadar yang sejalan dengan apa yang paling berharga dalam hidup. Sehingga memberi ruang di kepala untuk memprioritaskan apa yang penting dan menetapkan jumlah waktu yang tepat untuk setiap tugas maupun aktivitas.

Menurut Jenelle Kim, dokter pengobatan Tiongkok, ahli herba, dan penulis Myung Sung: The Korean Art of Living Meditation, Slow living adalah pendekatan hidup sadar yang melibatkan hidup lebih lambat sehingga menghargai setiap momen dan memprioritaskan apa yang penting dalam hidup. “Slow living bisa bermanfaat dari segi mentalitas dan fisik, seperti membuat tidur lebih nyenyak, memperbaiki pencernaan, meningkatkan suasana hati, mengurangi ketegangan otot, dan menurunkan tekanan darah,” katanya.

Melambatkan laju hidup juga menguatkan relasi dengan kerabat, keluarga, dan tetangga karena memiliki waktu untuk membangun hubungan. Selain itu, gaya hidup ini membuat seseorang pandai bersyukur, mencukupkan diri dengan apa yang dipunyai, tidak iri dan tidak membandingkan dengan yang orang lain miliki.

Dengan gaya hidup santai ini, mampu menghadirkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang memang tidak lagi dicari-cari tetapi melekat dalam laku keseharian.

Kondisi Tidak Menentu

Slow living tidak hanya menjadi pilihan dalam menjalankan gaya hidup. Dalam kondisi tertentu, slow living bisa untuk merespon situasi yang terjadi.

Semisal saat pandemi Covid-19, ketersediaan lapangan pekerjaan, biaya hidup yang terus naik, pendapatan yang tidak mampu mengimbangi kenaikan tersebut, memaksa sebagian pekerja menjalankan slow living.

“Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis memaksa orang untuk bekerja cepat dan mobilitas yang tinggi. Ditambah, selalu dihadapkan masalah kota seperti polusi dan macet. Tentu ini berdampak bagi kesehatan fisik dan mental. Maka, slow living memberikan solusi atau meminimalisir masalah tersebut,” kata Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, beberapa waktu lalu.

Bagi pekerja Jakarta, kata Raihan, gaya hidup ini tentu saja berdampak positif bagi kesehatan mental. Dengan menerapkan gaya hidup ini, mereka terhindar dari stress, cemas bahkan depresi. Di samping mereka dapat menemukan kepuasaan nonmoneter. Karena dengan mengurangi konsumsi berlebih, utang yang tidak perlu, hingga gaya hidup sederhana memberikan dampak positif bagi keuangan mereka.

“Uang yang biasanya digunakan untuk konsumsi bahkan doom spending akibat frustasi, dapat dialihkan untuk tabungan maupun investasi,” ujar dia.

Slow living sendiri, lanjut Raihan, jangan kemudian disalah pahami. Sebab, slow living bukan mengasingkan diri, tertutup pada dunia luar dan bermalas-malasan. Namun, jika ini yang diterapkan, maka berdampak buruk bagi produktivitas dan pada akhirnya bagi ekonomi.

Tidak Sekadar Mengejar Materi

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa fenomena slow living ini sebagai antitesis dari tekanan kerja yang meningkat. Bahkan fenomena slow living ini sudah mulai marak di banyak negara maju seperti Jepang, Denmark, Finlandia, Norwegia, termasuk juga di Indonesia sebagai negara berkembang. “Ini menjadi respons bahwa hidup ini tidak sekadar mengejar materi, tapi juga ada kebahagiaan,” katanya.

Bhima mengatakan bentuk-bentuk slow living itu salah satunya adalah empat hari kerja dalam seminggu. Ini adalah bentuk slow living sebagai respons bahwa ternyata kerja dengan waktu panjang belum tentu efektif. Apalagi sekarang sudah banyak bantuan teknologi. “Sehingga seharusnya kerja itu harus singkat waktu lebih banyak bermain dengan anak, dengan keluarga, bisa meneruskan hobi-hobi yang tertunda dibandingkan kerja hanya untuk mengejar produktivitas,” ujar dia.

Konsep tersebut, tentu saja efeknya masif dikalangan anak-anak Gen Z dan Milenial. Bahkan beberapa turunan dari slow living di sudah dalam tahap menarik. Di mana banyak anak muda kembali ke desa, kembali bekerja di sektor pertanian, menikmati hidup di pedesaan. “Sehingga mereka tetap mendapatkan penghasilan yang besar. Sementara tekanan kerjanya berkurang. Itu namanya slow living,” kata Bhima.

Bhima menambahkan, dengan menerapkan konsep slow living, menjadi satu hal membuat seseorang berpikir ulang tentang apa itu Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi. Juga berpikir tentang bagaimana indeks kebahagiaan dan indeks kesejahteraan mereka. “Bahwa yang lebih penting kan sehat daripada sekedar uang banyak di tabungan. Jadi itu slow living punya pengaruh besar bagi generasi muda saat ini,” kata Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Tol Jogja-Solo: Beroperasi Gratis, Begini Kondisi Ruas Tol Klaten-Prambanan

Jogja
| Sabtu, 21 Desember 2024, 20:47 WIB

Advertisement

alt

Mulai 1 Januari 2025 Semua Jalur Pendakian Gunung Rinjani Ditutup

Wisata
| Sabtu, 21 Desember 2024, 10:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement